cerita pendek "Sebelum Cahaya"



Sebelum Cahaya
Prolog
            Kabut fajar masih setebal hari sebelumnya. Kabut ciptakan embun sebelum cahaya. Tuhanpun himpun semua keluh kesah hamba-Nya lewat malaikat yang turun ke bumi kala itu. Mereka berjaga menunggu hamba-hamba Allah yang rindukan Cahaya diatas cahaya.Cahaya belum berani mengusir kabut, karena boleh jadi kabut masih rindukan embun pagi. Begitu pula hati yang kekosongan pasti rindukan sejuknya embun keimanan. Embun keimanan itu tercipta dari gerakan hati dan jasad yang selaras. Dalam tiap berdiri, rukuk dan sujudnya. Itulah ritual spiritual yang tak terelakan lagi khasiatnya. Hanya 2 rakaat. 2 rakaat sebelum cahaya lebih baik dari dunia seisinya, begitulah motivasi indah rasulullah dalam tutur katanya.
            Paparan cahaya rembulan keperakan tembus tebalnya kabut. Pepohonan dibuai semilir angin kesejukan. Seluruh alam semesta tunduk dengan tasbihnya tersendiri. Segalanya berpadu dalam keselarasan iman dalam hati yang merindu kasih Tuhan. Derai ombak pantai bertasbih seraya mengantarkan para nelayan berlabuh pulang dengan hasil jerih payahnya semalaman. Paparan cahaya rembulan  lukiskan wajahnya sendiri di atas lautan luas. Cahayapun menembus atap yang terlapisi sepetak kaca di sebuah surau kecil tepi pantai.
            Derai ombak dan semilir angin kalahkan rintihan seseorang di surau itu. Tangannya mengadah sejajar kepala. Tetesan  air mata basahi pipi tirusnya. Untaian keluh kesah terucap samar. Ia adukan pada Pemilik Alam. Bibir merah mudanya basah dengan ribuan kata ampun dan harapan.
Allahummaghfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayanii saghira”. Doa ini terulang berkali-kali. Air matanya tak mampu dibendung. Sembab sudah 2 katup matanya. 1 jam sudah ia meditasi islami di surau kecil itu. Meditasinya tak lain adalah beberapa rakaat shalat malam. Tak hanya hari ini, sudah seminggu ia tekuni rutinitas ilahiyah ini. Dan yang tak pernah teralihkan darinya adalah menunggu fajar menyingsing dari balik samudra dimana ayahnya pulang dan pergi penuhi kebutuhan hidupnya, hingga ia belum menemukan sosoknya kembali setelah badai hampiri desanya seminggu yang lalu. Karena itulah ia masih menunggu hadirnya mentari hidupnya, ayah tecinta. Bersama kabut yang membersamai embun sebelum cahaya inilah ia menengeladah panjatkan doa yang tersimpan sanubari guna bertemu mentari hidupnya agar mampu mengusir kabut kesedihannya. Maryam al-Qudsiyah, begitulah nama yang mencetak karakternya. Agar ia sekuat Maryam, sekokoh hatinya, sesabar perangainya, seanggun prilakunya, selembut kasihnya, seagung cintanya pada Sang Maha Cinta, ialah Ibunda Nabi Isa as. Itu terbukti dengan teguh pendiriannya untuk menanti. Menanti sesosok ayah yang akan datang kembali tuk sinari hidupnya yang berkabut pilu.
_____________..._____________
            Singsingan sinar mentari masuk ke celah-celah pohon, menyibak kabut perlahan-lahan. Paparan cahayanya bagai koin emas yang berjatuhan dari tangan seorang dermawan. Kabut paham masanya sudah berakhir. Ia tak bisa lagi temani embun. Karena mentari hari ini harus jalankan nidzom Ilahi. Sama halnya dengan sosok ayah yang selalu Maryam nanti. Masa untuk bersamanya telah berakhir. Ayah. Ya itulah yang masih jadi harapan Maryam, kehadirannya.
“Bu, abah pasti pulang kan? Aku rindu abah, abah belum melihat bayi kura-kura yang telah kuselamatkan minggu lalu. Pasti abah bangga karena aku telah menjadi pahlawan bagi kura-kura  agar mereka tetap hidup, sama seperti abah yang pergi ke laut menyelamatkan korban kapal tenggelam” tanyanya dengan raut muka mengharap jawaban pasti sambil mendekap bingkai foto yang telah usang termakan zaman.
“Abah pasti kembali, ia juga rindu padamu. Kirimkan salam dan doamu lewat malaikat agar sampai ke abah” jawab ummi Hajar sembari mendekap anak satu-satunya itu.
“Tapi kok abah sudah seminggu belum kembali. Abah juga belum menghubungi kita, padahal abah sudah janji mau menelfonku dan mengirimkan foto pulau aceh dari kejauhan. abah tidak lupa kan bu?” Tanya Maryam dengan mengangkat kepala melepaskan dekapan ibunya.
Ummi Hajar hanya terdiam. Seutas senyum manis penuh haraplah yang bisa ia sunggingkan menadahi pertanyaan sosok anak yang merindukan ayahnya tercinta.
“Maryam, ada surat untukmu” teriakan lantang Karmila, teman sebaya Maryam melenyapkan suasan hening dari pelataran rumah.
“Iya Karmila tunggu sebentar, aku segera kesana. Tetap disitu aku ingin main bersamamu sore ini” seru Maryam tak kalah lantang dari suara bising kapal di pelabuhan dekat rumahnya.
            Maryampun beranjak meninggalkan ibunya mengalihkan perhatiannya kepada Karmila; bermain melupakan segala kegelisahannya. Di satu siti tanpa disadari butiran bening menetes perlahan di pipi tirus wanita paruh baya itu. Pakaian abaya abu-abu yang membalutnya anggun menenggelamkan dirinya dalam keterpurukan ma’nawi terduduk lemas setelah menangkap keluhan buah hatinya itu, Maryam Al-Qudsiyah.
“Karmila, bisakah aku mengirim surat ke abahku yang brada di tengah laut sana?’’ Tanya Maryam dengan mengarahkan tangannya ke deraian ombak laut
“Surat ke tengah laut!?’’ Ucap Karmila heran bertanya-tanya
“Iya, sudah seminggu abah tak ada kabar, jadi aku juga ingin mengirim surat padanya, menurutmu bagaimana?’’ Tanyanya dengan menyodorkan setumpuk kertas terlipat rapi.
“Ini surat yang telah kau tulis untuk abahmu?’’ Tanya Karmila sambil mengambil tumpukan kertas yang Maryam sodorkan.
“Iya, aku tuliskan surat-surat ini sebelum cahaya setiap hari, karena aku tahu abah selalu kembali saat itu dan pasti menuju ke surau. Jadi aku bangun untuk menulis surat ini dan menunggunya datang di surau tepi pantai’’  jawab Maryam dengan sunggingan senyum manisnya penuh kepercayaan.
“Tapi, untuk hal ini sepertinya aku tak mampu membantumu. Ayahku hanya tukang pos di daratan pedesaan dan perkotaan bukan lautan dengan menggunakan kapal. Jadi aku minta maaf karena tak bisa membantumu.’’  Jawab Karmila dengan meraih tangan Maryam memberikan setumpuk surat ke tangannya.
“Apakah ada cara lain untuk menyampaikan surat ini?’’ Tanya Maryam ragu dalam benaknya; mendekap setumpuk surat yang ia tulis sepanjang hari.
            Mentari mulai membara dengan paparan sinarnya, pasir pantai menangkap radiasinya, hingga hamparan ikan asin telah berkerut mengering di tepi pantai karenanya, ialah sumber kehidupan yang bersanding dengan jutaan liter air laut setiap hari. Ummi Hajarpun turut mencari rizki Allah di atas hamparan pasir pantai dengan menjemur ikan asin usaha untuk menghidupi keluarganya. Cucuran keringat tanda kerja kerasnya tak menghalanginya untuk bekerja. Tangan piawainya selalu saja ciptakan keberkahan dalam tiap gerak hidupnya. Ya dialah sosok ibu yang Maryam banggakan.
“Ummi masih lama di sini? Adzan sudah berkumandang, lebih baik kita shalat dzuhur dulu” ajak Maryam polos sambil meraih tangan ibunya yang masih sibuk dengan kan asin di hadapannya.
“Masyaallah, iya nak, Ummi hampir lupa, untungnya kamu ingatkan.” Jawab Ummi Hajar sembari mengusap keringat di keningnya.
            Keduanya berjalan meninggalkan tepi pantai yang terik, gengganman tangan  Maryam mengisyaratkan keengganan dirinya untuk jauh dari ibunya, sekilas ia menengok ke ujung laut yang datar dipandang mata. Sejauh mata memandang, hanya kapal layar kecil yang mampu ditangkap lensa mata. Dalam benak, ia bisikkan salam disertai doa untuk ayahnya.
Abah, Maryam harap abah selalu bersama pertolongan Allah” ucapnya pelan dengan menempelkan genggaman tangan kirinya di dada.
Assalamu’alaikum warahmatullah” ucap keduanya lirih mengakhiri shalat dzuhur.
Maryam sesekali mendekap ibunya seusai shalat, hal yang jarang ia lakukan untuk kali ini. Dekapannya begitu erat seperti tak mau mengalami kehilangan. Layaknya kehilangan yang ia rasakan saat ini.
“Ummi, bisakah aku kirimkan surat untuk abah ke tengah laut sana” Bisik Maryam tepat di telinga ibunya.
“Kau menulis surat untuk abah? Kapan kau menulisnya? ummi tak pernah melihatmu menulis sebelumnya.” Tanya ummi Hajar sembari melepaskan dekapan Maryam.
“Sudah sejak abah pergi untuk menyelamatkan korban kapal tenggelam, aku tuliskan semua yang ingin kusampaikan tiap hari. Mungkin sudah setumpuk ini” Jawab Maryam dengan mengisyaratkan banyaknya lembaran surat yang telah ia tulis.
“Boleh ummi baca suratmu untuk abah?” Tanya ummi Hajar sambil meraih tangannya yang mengisyaratkan tumpukan lembaran surat miliknya.
“Ummi harus janji dulu untuk membantuku mengirim surat-surat itu, setelah itu aku akan biarkan ummi membaca semuanya” Jawab Maryam dengan mengulurkan jari kelingking munginya untuk mengikrarkan janji antara keduanya.
“Baiklah, ummi janji akan membantumu mengirimkannya. Besok, sebelum fajar terbit kita kirimkan surat-surat itu. Yakinlah abah pasti akan tau isi hatimu.” Jawab ummi Hajar dengan mengaitkan kelingkingnya pada Maryam.
Seutas senyum ikrar kebahagiaan terlukis indah dibalik kayu coklat dinding rumah mereka. Sauna keharmonisan keluarga alami bisa dirasakan saat itu juga. Kedua saling berhambur memeluk satu sama lain. Sungguh tak kuat lagi mata yang menangkap fenomena ini untuk tak teteskan air mata. Haru.
“Maryam, Maryam…bangun nak! Sebentar lagi fajar terbit. ummi mau menepati janji padamu” Bisik ummi Hajar ke telinga buah hatinya yang tertidur lelap sambil menepuk  pundaknya.
“hmm…” gumam Maryam dengan mengucek kedua matanya, berusaha merekam apa yang ia lihat
“Ayo, nak,,ikut ummi ke surau, disana ummi akan tepati janji ummi kemarin, bangkitlah sini” ucap Ummi Hajar sembari mengulurkan tangan ke arah buah hatinya untuk membantunya berdiri
“Ambil air wuldlu dulu, ummi tunggu di pelataran depan” pinta ummi Hajar halus
            Keduanya beranjak pergi meninggalkan tempat paling nyaman, surga dunia, rumah dengan pondasi keimanan. Angin malam sebelum munculnya cahaya mengiringi langkah kaki keduanya  dan Rembulanpun turut merekam jejak keduanya menuju baitullah, surau kecil tempat utama warga desa berkumpul dan mengadakan halaqah ilmu, yang biasa diisi abah Maryam, Pak Ibrahim.
Langit seakan  larut dalam tasbih pada Cahaya di atas Cahaya, nuurun ‘ala Nur. Cahaya keagungan-Nya retakkan langit melalui peraknya paparan cahaya rembulan yang  masih muncul dibalut kabut tebal. Ia setia temani embun pagi sebelum cahaya. Maryam dan ummi Hajar larut dalam kebersamaan spiritual pengisi jiwa, walau hanya beberapa gerakan shalat malam sebagai tasbih hamba Allah malam itu.
“Nak, kau bilang ingin mengirim surat ke abah, sini kemarilah!” seru ummi Hajar
Maryampun menuruti pinta umminya, Ia hanya tercekat diam bingung bagaimana ia harus kirimkan suratnya malam ini, sedang abahnya di tengah laut tanpa cahaya.
“Ulurkan tanganmu ke atas, pandanglah rembulan tepat di hadapanmu, mulai minta ampun pada Allah. Lalu lantunkanlah surat-surat cintamu pada-Nya, setelah itu barulah kau lantunkan surat rindumu untuk abah. Ingatlah nak, pada saat ini malaikat turun menghimpun doa hamba Allah yang berserah diri pada-Nya. Ketahuilah, sebenarnya kita mungkin takkan mampu lagi temui sosok abah yang selalu kita nanti kehadiraannya. Tapi, kau harus selalu ingat abah masih hidup penuh rizki Allah dan ketenangan tapi di alam yang entah dimana keberadaannya. Kita takkan pernah tau itu. Dan kala kau rindu pada abah cobalah bangun tunaikan shalat malam, kirimkan surat cintamu ke Allah dan surat rindumu ke abah. Abah pasti dengar melalui perantara malaikat saat ini. Jadi jangan pernah merasa kesepian karena abah selalu berada di hatimu melalui doa yang kau lantunkan dan surat kerinduan yang kau kirimkan padaya. Jadi, mulai sekarang jangan cemaskan abah, tapi rajinlah untuk mengirim makanan keseharian abahmu, doakan abah selalu nak.” Ungkap ummi Hajar sembari meraih tangan Maryam tuk berdoa, sesaat setelah ummi Hajar ungkapkan itu semua, air matanya leleh turun perlahan mengaliri wajah tirusnya. Ia sadar hatinya masih butuh supleman kekuatan untuk bertahan membimbing buah hatinya sendiri. Keduanya larut dalam takdir yang telah ditentukan Ilahi dengan hati yang lapang, menerima segala jawaban Tuhan.
“Ummi, izinkan aku untuk keluar dari surau ini, merasakan deraian ombak pantai malah hari, aku ingin kirimkan surat-suratku di sana agar Allah dan abah menerima dengan cepat” pinta Maryam dengan buliran air mata yang hiasi pipi mungilnya.
            Keduanya meninggalkan surau dan menuju tepi pantai untuk merasakan relaksasi malam melalui pijatan deraian ombak malam itu, disissi lain embun sejukkan hati keduanya melalui tasbihnya, adapun cahaya masih belum berani munculkan kilauan emas sinarnya. Saat itulah surat-surat cinta pada Cahaya di atas Cahaya ia kirimkan lewat malaikat malam itu, begitu pula surat rindu pada abahnya. Sebelum cahaya inilah hati Maryam terhubung dengan abahnya melalui lantunan doa dan surat rindunya. Segalanya terekam oleh embun sebelum cahaya bersama hantaman ombak refleksi keimanan dengan tasbih pada-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, kedudukan,Tujuan, dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan

Konsep Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

مذهب الشيعة و آرائهم الكلامية