Konsep Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
            Pemikiran seseorang mengenai suatu hal menentukan bagaimana sikapnya terhadap suatu persoalan. Kerap kali terjadi perbedaan pendapat furu’i yang melahirkan beberapa persoalan yang sering diperdebatkan. Begitu juga dalam dunia Islam, yaitu adanya berbagai macam pemikiran, pendapat dan manhaj yang bersifat furu’i. Hal tersebut merupakan khazanah keilmuan dan tanda akal manusia yang semakin kreatif dalam menyikapi suatu persoalan, asalkan masih dalam naungan aqidah yang lurus. Pengkajian pemikiran seseorang memiliki urgensi sebagai evaluasi diri, begitu pula pembandingan berbagai pemikiran menjadi pembelajaran bagi tiap individu.
            Para ulamapun mempunyai kontekstual tersendiri dalam memahami suatu persoalan. Tak hanya ulama, orang awampun punya pendapatnya tersendiri. Begitu juga mengenai tasawuf. Dalam sejarah dan perkembangan masyarakat kekinian, memilih kehidupan bersufi, sering kali disalah pahami dan diremehkan. Secara teologis ajaran tasawuf dianggap oleh beberapa kalangan sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, sehingga penganutnya dinisbatkan ke kemusyrikan, pengikut bid’ah, takhayul dan khurafat. Bahkan ada yang berpendapat bahwa tasawuf adalah penyebab kemunduran sains Islam. Karena asumsi itulah, melalui makalah sederhana ini, penulis akan memaparkan konsep pemikiran tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
            Syaihk Abdul Qadir Al-Jailani adalah sosok ulama yang terkenal, khususnya di kalangan ahli tarekat. Beliau terkenal dengan akhlaknya yang mulia, zuhud dan ahli ibadah. Selain itu beliau adalah seorang sufi dengan konsep akidah dan tasawuf yang dilandasi Al-Qur’an dan Hadis serta berorientasikan pada alur teologis ahlus-as-sunnah wa-l-jama’ah. Adapun sufistik Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah konsep sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syariat Ilahi. Al-Jailani melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syari’atnya. Selain itu, Al-Jailani adalah orang yang sangat menperhatikan aspek ilmu teoritis dan ilmu praktis.
            Selain itu Al-Jailani adalah sosok yang teguh dan tidak mudah terpengaruh oleh banyaknya perbedaan kelompok dan madzhab agama yang bertentangan dengan teologis ahli salaf. Maka dari itu, Al-Jailani berpegang teguh pada akidah salaf, menentang siapa yang keluar darinya dan tidak berpegang teguh pada para pendahulu. Adapun metode yang Al-Jailani gunakan adalh metode salaf yang membedakan antara khurafat dan karamah, antara kemungkinan datang dari Allah dan datang dari tipu daya setan.
            Al-Jailani juga berperan dominan dalam bidang ilmiah, salah satunya adalah perannya dalam menyembuhkan kegalauan mendalam para ulama dan fuqaha di satu sisi, dan pembesar sufi di sisi lain. Al-Jailani telah memulai dakwahnya ketika umat tengah berada di jalan yang tidak menentu. Yaitu menyebarnya khurafat dan pemikiran sesat, sehingga tasawuf mengacu pada hal-hal sesat dan jauh dari syari’at.
            Gagasan Al-Jailani pada masanya adalah pada pemurnian tauhid dan akidah serta tasawuf yang berpegang teguh pada syariat Ilahi. Dengan berorientasikan teologi ahlu-as-sunnah wa-l-jamaa’ah.

1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka rumusan masalah pada pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah konsep tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?
2.      Apakah faktor yang mendorong Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bertasawuf?

1.3 Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penulisan karya tulis ini adalah:
1.      Untuk mengetahui konsep tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan menentang asumsi bahwa tasawuf bukan berasal dari agama Islam.
2.      Untul mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani untuk bertasawuf di tengah polemik yang banyak terjadi khurafat dan pemikiran sesat.

1.4 Manfaat Penulisan
1.      Menambah wawasan mahasiswa mengenai aspek pemikiran tokoh ulama dan sufi yang berpengaruh pada kerangka pikiran seseorang, sehingga dapat membandingkan pemikiran satu tokoh dengan tokoh lainnya beserta faktor pendorong seseorang dalam berfikir.
2.      Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai konsep tasawuf ulama dan sufi yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis serta berorientasikan pada teologi ahlu-as-sunnah wa-l-jama’ah sehingga mendobrak sekelebat doktrin bahwa tasawuf tidak berasal dari ajaran Islam dan cenderung mengarah ke musyrikan.


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan Umum
            Banyak terjadi perbedaan pendapat mengenai tasawuf. Pada masa kekinian ini, ada beberapa kalangan yang menganggap tasawuf sebagai aliran yang tidak berasal dari Islam secara teologis. sehingga penganutnya dinisbatkan ke kemusyrikan, pengikut bid’ah, takhayul dan khurafat. Bahkan ada yang berpendapat bahwa tasawuf adalah penyebab kemunduran sains Islam. Karena asumsi itulah, melalui makalah sederhana ini, penulis akan memaparkan konsep pemikiran tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
            Syaikh Abdyl Qadir Al-Jailani merupakan sosok ulama sufi yang terkenal di kalanagan ahli tarekat. Konsep pemikirannya yang menonjol adalah mengenai aqidah dan tasawuf. Keduanya didasarkan atas Al-Qur’an dan As-Sunnah serta sesuai denagn syariat Ilahi. Alur teologis penukiran Al-Jailani berporos pada alur teologis Ahlu-as-sunnah wa-l-jama’ah. Adapun tasawuf Al-Jailani dipengaruhi oleh faktor lingkungan hidupnya yang akan penulis bahas pada pembahasan khusus di bawah ini.

2.2 Pembahasan Khusus
            Dari uraian pembahasan umum di atas, penulis akan memaparkan beberapa pembahasan khusus mengenai konsep tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Adapun pembahasan khusus tersebut yaitu mengenai pengertian tasawuf, konsep tasawuf Al-Jailani, dan faktor yang mendorongnya bertasawuf.

2.2.1 Konsep Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
            Tasawuf sering disebut dengan misitisme dalam Islam oleh orientalis. Ada banyak pendapat mengenai asal usul tasawuf.  Secara bahasa para ulama berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf, apakah kata itu diambil dari kata ash-shafa’ (jernih), ash-shuf (kain wol), ash-shuffah (penghuni emper masjid) dan ash-shaf (barisan).
            Secara istilah, banyak para ulama yang berbeda pendapat mengenai pengertian tasawuf secara istilah, diantaranya:
1.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah memberikan pengertian bahwa tasawuf  adalah semacam kejujuran. Seorang sufi yang jujur adalah yang mengkhususkan dirinya dalam zuhud dan ibadah dalam aspek yang mereka berjihad di dalamnya. (Fatawa Ibnu Taimiyyah:hal. 17)
2.      Ibnu Khaldun mengartikan tasawuf adalah ber’iktikaf untuk beribadah , mengasingkan diri kepada Allah, manjauhkan diri dari gemerlapnya dunia dan perhiasannya serta berzuhud dari apa yang diterima oleh kebanyakan orang seperti kesenangan, harta, dan pangkat serta menyendiri untuk menikmati ibadah. (Ibnu Khaldun:hal. 334)
3.      Sahal bin Abdullah At-Tutsuri mengartikan tasawuf adalah orang yang bersih dari kotoran, penuh dengan pemikiran, mengasingkan diri krpada Allah dari manusia, sama baginya antara emas dan debu. (Al-Kaladzabi:hal. 9)
            Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang ulama sufi yang terkenal di kalangan ahli tarekat. Salah satu pemikirannnya yaitu mengenai tasawuf. Al-Jailani telah membatasi pengertian tasawuf dengan berkata:
“Tasawuf adalah percaya pada yang Haq (Allah) dan berprilaku baik kepada makhluk” (Al-Jailani:hal.160)
Makdsudnya adalah bahwa tasawuf mengatur antara dua hubungan utama, yaitu hubungan dengan pencipta dan hubungan terhadap sesama manusia dengan prilaku dan akhlak yang lurus dan baik.
Jika ada asumsi bahwasannya memilih kehidupan bersufi adalah dengan menjauhi dunia, Al-Jailani tidak pernah mengasingkan diri, dalam artian membenci dunia. Namun dalam lain sisi Al-Jailani tidak menenggelamkan dirinya pada kesenangan dunia, sehingga melupakan Sang Pencipta. Mengenai hal tersebut Al-Jailani berkata: “Kuasailah dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki olehnya. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Tasharufkanlah dunia, karena sabda Nabi: sebaik-baik harta adalah harta hamba yang saleh.”
            Dunia dipandang olehnya sebagai poros kontinuitas kehidupan akhirat. Keduanya tidak bias dipisahkan. Karena dunia adalah lading kita untuk menanam sebanyak-banyaknya amal kebaikan hingga kita mampu menuai benih amal kita di hari akhir. Sufisme Al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggal dunia yang menjadi mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. (Anwar Ma’rufi:2012 hal.7) Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧ 
Artinya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Q.S.Al-Qashas:77)
Selain itu Al-Jailani juga menjelaskan bahwa tasawuf dibangun atas delapan pilar: (Dr. Said bin Musfir Al-Qahtani:2012 hal 419)
1.    Dermawan, yang dijadiakn sebagai teladan dalam hal; ini adalah Khalilurrahman, Ibrahim as yang terkenal denagn hal itu.
2.    Ridha, yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah Nabi Ishaq as.yang menurutnya bahwa Ishaqlah yang disembelih atas perintah Allah. Namun pendapat ini dianggap cacat oleh ahlu-as-sunnah wa-l-jama’ah, Ibnu Qayyim telah mentarjih dengan dalil-dalil qath’i bahwa yang disembelih adalah Ismail as.
3.    Sabar, yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah Nabi Ayyub as.
4.    Isyarah, Al-Jailani menyatakan bahwa yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah Nabi Zakaraia as. Dalam hal ini Al-Jailani mengisyaratkan tentang kecerdasan dan ketepatan Nabi Zakaria as dalam memahami fenomena.
5.    Mengasingkan diri, yang dijadikan teladan dalam sikap ini adalh Nabi Yahya bin Zakaria as. Mungkin tujuan dari mengasingkan diri menuru Al-Jailani adalah banyak beribadah dan mengkosongkan hatinya dari kesibukan, tanpa disibukkan anak dan isteri. Maka dari itu Yahya dujadikan Allah sebagai pemimoin dan nabinya orang-orang shaleh.(Tafsir Ibu Katsir:hal.361)
6.    Tasawuf, yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah Musa bin Imraan as.
7.    Bepergian,yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah Osa bin Maryam as. ( Dr. Said bin Musfir al-Qahtani:2012 hal.420)
8.    Kefakiran, yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah orang yang paling butuh kepada Allah swt, tunduk dan patuh kepada-Nya, Nabi Muhammad saw. Bukti hal tersebut terpampang jelas dalam perjalanannya yang agung.
Konsepsi sufistik Al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni dengan dilandasi syariat Ilahi berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta berorientasikan pada teologi ahlu-as-sunnah wa-l-jama’ah. Al-Jailani melarang seseorang untuk menceburkan dirinya ke dunia sufi, sebelum ia talah benar-benar berpegang pada syariat Ilahi. Sebab, hubungan antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan Nabi Saw. “Syariat laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya”, jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui pengamalan syariat secara istiqamah. (Anwar Ma’rufi:2012 hal.7)

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mendorong Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani          Bertasawuf
     Ada beberapa factor yang mempengaruhi kepribadian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani hingga mendorongnya bertashawuf disamping menempuh ilmu syariat yang bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara factor-faktor tersebut adalah sebagai berikut (Dr. Said bin Musfir Al-Qahtani:2012 hal.424) :
1.      Karena Al-Jailani tumbuh dalam kondisi keluarga yang shalih, yang ayahnya adalah seorang yang terkenal keshalihannya, ahli ibadah, baik perangainya. Adapun ibunya, Fatimah adalah seorang ibu yang baik,anak perempuan dari Abu Abdullah Ash-Shauma’i, yang terkenal dengan ketakwaan dan wara’nya.
2.      Pertemuannya denagn sufi-sufi Baghdad. Lingkungan barunya di Baghdad memberikan sentuhan tersendiri bagi pembentukan karakternya, karena Al-Jailani sering berkumpul dengan para ulama dan fuqaha serta guru-guru sufi di majls ilmu. Hal tersbut memberikan pengaruh besar bagi perkembangan hidupnya.
3.      Ketidakcocokannya pada perilaku sebagian para fuqaha dan penasihat pada zamannya dan orang-orang yang dikendalikan hawa nafsu dan keuntungan pribadi. Pada zamannya, para khalifah dalam menjalankan pemerintahan cenderung kepada kepentingan pribadi atau golongan dan madzhab hingga tidak memperhatikan kemashlahatan hakiki. Karena hal itulah Al-Jailani berpendapat bahwa berpalingnya para fuqaha dari agama karena kurangnya muraqabartillah dan ketakwaan pada-Nya. Inilah salah satu factor yang mendorong Al-Jailani bertasawuf dengan dasar Kitabullah dan As-sunnah.
4.      Pada masa Al-Jailani, tasawuf mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia, karena hasil usaha besar yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali, pada masa awal pertumbuhan Al-Jailani.
Itulah factor-faktor penting yang mendorong Al-Jailani terjun dalam dunia tasawuf.


BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Berdasarkan pada uraian pembahasan diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah sosok ulama sufi yang terkenal di zamannya, zaman ketika banyak muncul kemunafikan, khurafat, dan bid’ah. Adapun konsep pemikiran tasawuf Al-Jailani di zamanya jauh dari hal-hal tersebut. Konsep pemikiranya didasarkan atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dan berpegang teguh pada syari’at Ilahi serta alur teologisnya merupakan alur teologi ahlu-as-sunnah wa-l-jama’ah.
2.      Menurut Al-Jailani, memilih kehidupan bersufi tidak bermakna menjauhi dan mengasingkan diri dari dunia dalam artaian membenci dunia. Dunia dan akhirat menurut pandangannya adalah dua hal yang salang berkaitan satu sama lainnya. Al-Jailani memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. Sufisme Al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif, dan positif, tidak meninggalkan dunia dalam artian membencinya, karena dunia adalah mazra’ul akhirah.
3.      Lingkungan kehidupan Al-Jailani yang dikelilingi oleh para ulama dan fuqaha di zamannya membentuk pola piker dan perkembangan hidupnya, yaitu di Baghdad ketika usianya telah produktif dalam mencerna pemikiran dan mengeluarkan pendapat. Selain itu Al-Jailani juga dilahirkan dari keluarga dengan pondasi agama yang kuat.

3.2 Saran
            Berdasarkan kesimpulan di atas, maka yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1.      Bagi kalangan akademis.
Pengkajian konsep pemikiran seorang tokoh atau ulama besar seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang telah banyak berperana pada dunia keilmuan memiliki urgensi penting bagi kalangan akedemis terutama untuk para penuntut ilmu di bidang ushuluddin umumnya dan akidah filsafat khususnya. Dengan mengetahui proses terjadi konsep pemikiran seseorang telebih seorang ulama besar zaman dahulu yang telah berpengaruh pada bidangnya, memberikan jalan dan ukuran bagi pemandingan hasil yang dihasilkan dari konsep pemikiran tersebut. Dari situlah para kalangan akedemis mampu mengambil pelajaran penting yang pastinya harus disaring kemurnian tauhid dan akidahnya untuk diterapkan dan skedar mengetahui serta mengambil pelajaran bagi hal-hal yang dinilai masih memerlukan pembenaran alur pemikiran.
2.      Bagi pemerintah dan masyarakat.
Memilih kehidupan bersufi pada masa kekinian dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, sehingga pengikutnya dinisbatkan ke kemusyrikan, pengikut bid’ah dan khurafat. Asumsi tersebut dapat dibantah melalui salah satu konsep pemikiran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mengenai tasawuf yang berporos pada akidah yang lurus dan syariat Ilahi. jadi tasawuf disini bukanlah aliran yang sesat, Karen para ulama terdahulupun mengkaji hal tersebut, asalkan masih dalam poros syariat Ilahi dan akidah yang lurus.

3.3 Penutupan
            Demikian pembahasan makalah yang dapat diuraikan. Penulis sudah berusaha maksimal dalam pengumpulan serta pengolahan data dalam penyusunan makalah ini. Sumbang saran dari para pembaca jika ada hal-hal  yang perlu diperbaiki. Jika ada kesalahan dalam proses penulisan makalah ini, ataupun dalam beberapa penulisan, mohon dimaklumi adanya.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, kedudukan,Tujuan, dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan

مذهب الشيعة و آرائهم الكلامية